all right,
di postingan kali ini saya akan mencoba menceritakan bagaimana perjalan perkembangan ekonomi negara tercinta kita yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) .
baiklah tanpa menunggu panjang lebar langsung aja ....
Saat zaman penjajahan, Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi.
Atas dasar itulah maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai perdagangan.
Sedangkan Efek yang diperjual-belikan adalah saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.
Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa.
Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp. 7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek.
Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan di Semarang.
Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda.
Zaman Orde Lama ( 1950 – 1966)
Aktif Kembali
Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI,
tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh
pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali Pasar Modal
Indonesia.
Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13
tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No. 15
tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di Jakarta
pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya
diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang
terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank
Indonesia sebagai penasihat.
Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek
yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II.
Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan
pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli
obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua
anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama
dengan Amsterdam.
Masa Konfrontasi
Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958,
karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa.
Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap
Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan
banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya
hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan
memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai
dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.
Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi
Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek
Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang
beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang
Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia.
Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu,
makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan
pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun
1966.
Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi
menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan
pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
Zaman Orde Baru (1966 -1998)
Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Disamping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk Pasar Modal.
Dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26 Juli 1968, di BI di bentuk tim persiapan (PU) Pasar Uang dan (PM) Pasar Modal. Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami kemunduran.
Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep-25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral.
Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek.
Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali dan go publik-nya beberapa perusahaan. Pada jaman orde baru inilah perkembangan PM dapat di bagi menjadi 2, yaitu tahun 1977 s/d 1987 dan tahun 1987 s/d sekarang.
Perkembangan pasar modal selama tahun 1977 s/d 1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di Pasar Modal.
Tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham dan lain sebagainya.
Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.
Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.
Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankkan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito.
Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.
Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa.
Karena tiga kebijaksanaan inilah pasar modal menjadi aktif untuk periode 1988 hingga sekarang.
Krisis keuangan kawasan Asia à krisis moneter di Indonesia yang ditandai depresiasi rupiah terhadap dollar
Usaha mengatasi krisis :
- Melakukan intervensi à cadangan devisa menipis
- Meminta bantuan dari IMF :
- Krisis ekonomi ini berdampak pula pada krisis politik
Pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan IPDI-P). Partai Golkar mendapat posisi ke dua,. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR. Tanggal 20 Oktober 1999 diselenggarakan pemilihan presiden. KH Abdulrrachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-empat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir daripada pemerintahan transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi.
Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Wahid, masyarakat umum dan investor termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), supermasi hukum, hak azasi manuria (HAM), penembakan tragedy Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah disintegrasi dan lainnya.
Dalam hal ekonomi dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walau tidak jauh dari 0%, tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hamper 5%, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Ketenagan masyarakat setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapanan yang controversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung Diktator dan praktik KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi (yang berarti pemerintahan Gus Dur tidak berbeda dengan rezim orde baru)
Sikap GusDur tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya DPR mengeluarkan peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya memorandum II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia, jika usulan percepatan siding MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur:
1. Praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.
2. Kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan secara terus berlanjut, (pembrontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah)
3. Demostrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri.
4. Pertikaian elit politik semakin besar.
5. Hubungan dengan IMF tidak baik, terutama mengenai amandemen UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Penerapan Otonomi Daerah terutama menyangkut kebebasan Daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia (roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
6. Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (Negara donor) diprediksi tidak mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002.
7. Bank Dunia mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidak stabilan politk dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrachman Wahit menaikan tingkat Country Risk Indonesia. Ditambah buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya kondisi perekonomian Nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie.
Lembaga pemeringkat Internasional Moody’s Investor Service menginforamasikan bertambah buruknya resiko Negara Indonesia, meskipun beberapa indicator ekonomi makro mengalami perbaikan tetapi kekhawatiran kondisi politik dan social lembaga rating lainnya, seperti Standart & Poor, menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negative.
Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “Once and for all”
Beberapa hal yang mengakibatkan kehancuran ekonomi pada saat Pemerintahan GUS DUR:
1. Menyederhanakan krisis ekonomi dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiscal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah BCA dan Bank Niaga.
2. Kebijakan yang controversial dan inkonsisten.
3. Pengenaan bea masuk impor mobil mewah untu kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%
4. Pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah
5. Indikator ekonomi yakitu pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) dari Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negative. Selama periode itu IHSG merosoh hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan leh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian di dalam perdaganan saham di dalam negeri.
6. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp.7000 dan pada tanggal 7 Maret 2001 menembus Rp.10.000 per dolar AS. Keadaan ini dicatat hari bersejarah sebagai awal kejatuhan GUS DUR.
7. Pada tanggal 12 Maret 2001 ketika istana presiden dikepung para demonstran yang menuntuk presiden Gus Dus mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001 kurs rupiah telah menyentuk Rp.12.000 per dolar AS.
8. Angka inflasi diprediksi mencapai dua digit.
9. Cadangan devisa pada minggu akhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Setelah presiden Gus Dur turun, Megawati menjadi presiden yang kelima diangkat melalui Sidang Istimewa (SI) MPR, keadaan perekonomian jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur.
Buruknya perekonomian pada masa pemerintahan Megawati adalah karena warisan dari pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Megawati dengan Kabinet Gotong Royong menunjukkan keadaan ekonomi seperti:
- Kondisi perekonomian menunjukkan perbaikan dibanding dengan zaman sebelumnya
- Stabilitas keamanan politik dan sosial mendapatkan ancaman-ancaman serius à meningkatkan country risk
- Kondisi perekonomian Indonesia cenderung lebih buruk dibanding masa transisi, dimana :
Zaman Transisi (1998 -1999)
Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politk tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang perna dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut di satu pihak dan dari krisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr. Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk cabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan trasisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul di mana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akibatnya, banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.
Usaha mengatasi krisis :
- Melakukan intervensi à cadangan devisa menipis
- Meminta bantuan dari IMF :
- Penerapan kebijaksanaan makro, meliputi fiskal dan moneter (pencabutan Subsidi)
- Restrukturisasi sektor keuangan
- Reformasi Struktural
- Terjadi tarik ulur antara kepentingan domestik dengan IMF
- Krisis ekonomi ini berdampak pula pada krisis politik
Zaman Reformasi (2000 – 2001)
Pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan IPDI-P). Partai Golkar mendapat posisi ke dua,. Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR. Tanggal 20 Oktober 1999 diselenggarakan pemilihan presiden. KH Abdulrrachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-empat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir daripada pemerintahan transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi.
Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Wahid, masyarakat umum dan investor termasuk investor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), supermasi hukum, hak azasi manuria (HAM), penembakan tragedy Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah disintegrasi dan lainnya.
Dalam hal ekonomi dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walau tidak jauh dari 0%, tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hamper 5%, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Ketenagan masyarakat setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapanan yang controversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung Diktator dan praktik KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi (yang berarti pemerintahan Gus Dur tidak berbeda dengan rezim orde baru)
Sikap GusDur tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya DPR mengeluarkan peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya memorandum II, Gus Dur terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia, jika usulan percepatan siding MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur:
1. Praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.
2. Kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan secara terus berlanjut, (pembrontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah)
3. Demostrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri.
4. Pertikaian elit politik semakin besar.
5. Hubungan dengan IMF tidak baik, terutama mengenai amandemen UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Penerapan Otonomi Daerah terutama menyangkut kebebasan Daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia (roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
6. Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (Negara donor) diprediksi tidak mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002.
7. Bank Dunia mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidak stabilan politk dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrachman Wahit menaikan tingkat Country Risk Indonesia. Ditambah buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya kondisi perekonomian Nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie.
Lembaga pemeringkat Internasional Moody’s Investor Service menginforamasikan bertambah buruknya resiko Negara Indonesia, meskipun beberapa indicator ekonomi makro mengalami perbaikan tetapi kekhawatiran kondisi politik dan social lembaga rating lainnya, seperti Standart & Poor, menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negative.
Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “Once and for all”
Beberapa hal yang mengakibatkan kehancuran ekonomi pada saat Pemerintahan GUS DUR:
1. Menyederhanakan krisis ekonomi dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiscal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah BCA dan Bank Niaga.
2. Kebijakan yang controversial dan inkonsisten.
3. Pengenaan bea masuk impor mobil mewah untu kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%
4. Pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah
5. Indikator ekonomi yakitu pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) dari Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negative. Selama periode itu IHSG merosoh hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan leh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian di dalam perdaganan saham di dalam negeri.
6. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp.7000 dan pada tanggal 7 Maret 2001 menembus Rp.10.000 per dolar AS. Keadaan ini dicatat hari bersejarah sebagai awal kejatuhan GUS DUR.
7. Pada tanggal 12 Maret 2001 ketika istana presiden dikepung para demonstran yang menuntuk presiden Gus Dus mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001 kurs rupiah telah menyentuk Rp.12.000 per dolar AS.
8. Angka inflasi diprediksi mencapai dua digit.
9. Cadangan devisa pada minggu akhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Setelah presiden Gus Dur turun, Megawati menjadi presiden yang kelima diangkat melalui Sidang Istimewa (SI) MPR, keadaan perekonomian jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur.
Buruknya perekonomian pada masa pemerintahan Megawati adalah karena warisan dari pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Megawati dengan Kabinet Gotong Royong menunjukkan keadaan ekonomi seperti:
- Kondisi perekonomian menunjukkan perbaikan dibanding dengan zaman sebelumnya
- Stabilitas keamanan politik dan sosial mendapatkan ancaman-ancaman serius à meningkatkan country risk
- Kondisi perekonomian Indonesia cenderung lebih buruk dibanding masa transisi, dimana :
- Country Risk semakin besar
- IHSG menunjukkan pertumbuhan negatif
- Nilai tukar rupiah semakin merosot
Kabinet Gotong Royong ( 2001-2004 )
Merupakan kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2004.
Nama gotong-royong diambil Megawati sebab pemerintahannya adalah hasil koalisi banyak partai.
Megawati adalah presiden kedua yang menjabat pada masa pemilu multipartai pasca tumbangnya orde baru. Nama gotong royong juga dipilih megawati untuk menguatkan visi misi utama pemerintahannya, yaitu rekonsiliasi nasional. Indonesia, saat Megawati terpilih menjadi presiden sedang porak-poranda akibat beragam konflik, seperti konflik komunal (ambon, poso, sampang) dan konflik politik (pemakzulan Gus Dur oleh koalisi yang sebelumnya mendukungnya).
Gotong royong adalah kata yang dipilih untuk merekonsiliasi atau mempersatukan bangsa Indonesia dalam semangat membangun kembali.Melalui Kabinet Gotong Royong, Presiden Megawati Sukarnoputri telah menunjukkan manuver politik yang piawai dan berhasil memberikan impresi yang positif pada berbagai lapisan masyarakat. Saat itu tumbuh dan berkembang pendapat pada berbagai masyarakat termasuk pelaku ekonomi, kalangan birokrasi, pengamat politik, dan masyarakat kampus bahwa Kabinet Gotong Royong yang dilantik pada hari Jum’at 10 Agustus yang lalu adalah kabinet yang cukup tangguh.Pandangan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa 26 dari 32 jabatan menteri dan setingkat menteri dijabat oleh para profesional yang menguasai bidang tugas masing-masing.
Ekonomi di bawah pemerintahan Megawati tidak mengalami perbaikan yang nyata dibandingkan sebelumnya, meskipun kurs rupiah relatif berhasil dikendalikan oleh Bank Indonesia menjadi relatif lebih stabil. Kondisi ekonomi pada umumnya dalam keadaan tidak baik, terutama pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi, kondisi fiskal, serta keadaan keuangan dan perbankan. Dengan demikian, prestasi ekonomi pada tahun kedua pemerintahan sekarang ini tidak menghasilkan perbaikan ekonomi yang cukup memadai untuk sedikit saja memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kesempatan kerja.Analisis yang cukup kerap dari banyak kalangan membuktikan bahwa selama ini tim ekonomi tidak mampu, menyelesaikan proses pemulihan ekonomi dan memperbaiki perekonomian secara lebih luas. Kondisi perekonomian masih terus dalam ketidakpastian, terutama karena terkait dengan masalah keamanan, seperti dalam kejadian pemboman beruntun sejak tahun 1998 sampai tahun 2002.Masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan pengangguran adalah gambaran yang paling suram di bawah kabinet gotong royong ini.
Sentuhan kebijakan ekonomi tidak jelas sehingga memberikan signal yang tidak jelas pula pada masyarakat dan kalangan investor di dalam maupun di luar negeri. Signal tersebut menjadi lebih buruk lagi ketika pemerintah sama sekali gagal menyediakan jasa publik yang paling mendasar, yakni keamanan.Faktor keamanan juga menjadi ganjalan serius yang menghalangi proses pemulihan ekonomi.
Justru persoalannya sampai saat ini karena faktor ekonomi dan faktor non ekonomi tidak saling mendukung.Kondisi investasi di Indonesia betul-betul terpuruk. Sejauh ini tidak ada tindakan kolektif dari perencanaan yang komprehensif tersebut. Dengan sumberdaya manusia di dalam birokrasi, perguruan tinggi dan masyarakat luas, serta pengetahuan yang jauh lebih tinggi seharusnya pemerintah sudah bekerja dengan perencanaan tersebut, yang jelas arahnya tidak lain untuk pemulihan ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar